Selasa, 01 Maret 2011

Enterobiasis

Sebenarnya ini tugas untuk mata kuliah Farmakoterapi, silahkan dijadikan sebagai bahan bacaan, rujukan atau mau dikumpulin sebagai tugas lagi, tapiii jangan lupa edit-edit dikit, biar g' ketahuan.. :p
Eits, jangan lupa buat sumbernya, sebagai salah satu etika dalam dunia akademik...

A. Pendahuluan

Enterobiasis atau oxyuriasis adalah penyakit akibat infeksi cacing Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis. Disebut pula sebagai pinworm infection, atau di Indonesia dikenal sebagai infeksi cacing kremi. Penyakit ini identik dengan anak-anak, meski tak jarang orang dewasa juga terinfeksi.

B. Klasifikasi

Phylum : Nematoda
Class : Cecernentea
Subclass : Rhabditia
Order : Rhabditida
Suborder : Rhabditina
Superfamily : Oxyuroidea
Family : Oxyuridae
Genus : Oxyuris atau Enterobius
Spesies : O. vermicularis atau E. vermicularis.

C. Morfologi

a. Cacing Dewasa

Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,3-0,5 mm, dengan pelebaran kutikulum seperti sayap pada ujung anterior yang disebut alae. Bulbus oesofagus jelas sekali, dan ekor runcing. Pada cacing betina gravid, uterus melebar dan penuh telur.


Gambar: E. vermicularis Betina

Cancing jantan lebih kecil sekitar 2-5 mm dan juga bersayap, tapi ekornya berbentuk seperti tanda tanya, spikulum jarang ditemukan.


Gambar: E. Vermicularis Jantan

b. Telur

Telur E. vermicularis oval, tetapi asimetris (membulat pada satu sisi dan mendatar pada sisi yang lain), dinding telur terdiri atas hialin, tidak berwarna dan transparan, serta rerata panjangnya x diameternya 47,83 x 29,64 mm. Telur cacing ini berukuran 50μm - 60μm x 30μm, berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu sisinya (asimetris). Dinding telur bening dan agak tebal, didalamnya berisi massa bergranula berbentuk oval yang teratur, kecil, atau berisi embrio cacing, suatu larva kecil yang melingkar.

Gambar: Telur E.vermicularis

D. Siklus Hidup

Manusia merupakan satu-satunya host bagi E. vermicularis. Manusia terinfeksi bila menelan telur infektif. Telur akan menetas di dalam usus dan berkembang menjadi dewasa dalam caecum, termasuk appendiks.


Gambar: Potongan melintang E. vermicularis dewasa di usus halus
Sumber : www.bchealthguide.org

Cacing betina memerlukan waktu sekitar 1 bulan untuk menjadi matur dan mulai memproduksi telur. Cacing betina yang gravid mengandung sekitar 11.000-15.000 butir telur, berimigrasi ke perianal pada malam hari untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan vaginanya. Telur-telur jarang dikeluarkan di usus sehingga jarang ditemukan di tinja. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 6 jam setelah dikeluarkan pada suhu badan. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Kadang-kadang cacing betina berimigrasi ke vagina dan menyebabkan vaginitis.



Gambar: Cacing betina yang bermigrasi ke perianal untuk meletakkan telurnya
Sumber : www. whisperingpinesmedicalclinic.com

Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di caecum. Cacing jantan mati setelah kopulasi, dan cacing betina mati setelah bertelur. Daur hidup cacing mulai dari tertelannya telur infektif sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke perianal dan memerlukan waktu kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan.


Gambar: Siklus hidup E. vermicularis

E. Diagnosa

Diagnosa dilakukan berdasarkan riwayat pasien dengan gejala klinis positif. Diagnosis pasti dengan ditemukannya telur dan cacing dewasa. Selain itu, diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan tinja dan anal swab dengan metode Scotch adhesive tape swab.


Pada pemeriksaan tinja dapat ditemukan adanya cacing dewasa. Cacing jantan dewasa setelah kopulasi mati dan keluar bersama tinja. Sementara dengan metode Scotch adhesive tape swab, dapat menemukan telur yang diletakkan didaerah perianal.

Metode yang kedua lebih mudah dilakukan, dan lebih sering dilakukan. Selain biaya yang relatif murah, juga kerja yang cepat. Cara kerja metode tersebut hanya menempelkan sisi lekat celophan tape ke daerah perianal, kemudian dengan menggunakan xylol atau toluol untuk menjernihkan, dapat ditemukan adanya telur cacing kremi. Metode ini juga sangat efektif. Sekali melakukan pemeriksaan dengan swab dapat menemukan 50% dari semua infeksi, tiga kali pemeriksaan 90%, dan pemeriksaan 7 hari berturut-turut diperlukan untuk menyatakan seseorang bebas infeksi.

F. Gejala Klinis

Enterobiasis relatif tidak berbahaya. Gejala klinis yang paling menonjol adalah rasa gatal (pruritus ani) mulai dari rasa gatal sampai timbul rasa nyeri. Akibat garukan akan menimbulkan iritasi di sekitar anus, kadang sampai terjadi perdarahan dan disertai infeksi bakteri. Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari. Hal ini akan menyebabkan gangguan tidur pada anak-anak (insomnia) oleh karena rasa gatal, anak akan kurang tidur dan badannya pun menjadi lemah serta lebih cengeng atau sensitif. cepat marah, dan gigi menggeretak. Kondisi yang tidak mengenakkan ini membuat nafsu makan anak berkurang. Berat badannya serta merta berkurang.

Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di daerah tersebut. Cacing sering ditemukan di apendiks (usus buntu) tetapi jarang menyebabkan appendisitis. Pada beberapa kasus dilaporkan adanya migrasi cacing betina pada penderita wanita bisa sampai ke vagina-rahim-akhirnya ke tuba fallopi dan menimbulkan radang saluran telur atau salpingitis. Kondisi ini sangat berbahaya, terutama pada wanita usia subur, sebab dapat menyebabkan kemandulan, akibat buntunya saluran tuba.

Adanya cacing dewasa pada mukosa usus akan menimbulkan iritasi dan trauma sehingga dapat menyebabkan ulkus kecil. Jumlah cacing yang banyak dalam rektum dapat menyebabkan rectal kolil (rasa nyeri hebat pada usus besar).

G. Penularan Penyakit

Penularan dapat dipengaruhi oleh :

Penularan dari tangan ke mulut (hand to mouth), setelah anak-anak menggaruk daerah sekitar anus oleh karena rasa gatal, kemudian mereka memasukkan tangan atau jari-jarinya ke dalam mulut. Kerap juga terjadi, sesudah menggaruk daerah perianal mereka menyebarkan telur kepada orang lain maupun kepada diri sendiri karena memegang benda-benda maupun pakaian yang terkontaminasi. Telur Enterobius vermicularis menetas di daerah perianal kemudian larva masuk lagi ke dalam tubuh (retroinfeksi) melalui anus terus naik sampai sekum dan tumbuh menjadi dewasa. Cara inilah yang kita kenal sebagai : autoinfeksi

Debu merupakan sumber infeksi oleh karena mudah diterbangkan oleh angin sehingga telur yang ada di debu dapat tertelan.

Anjing dan kucing bukan mengandung cacing kremi tetapi
dapat menjadi sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel pada bulunya.

Parasit ini kosmopolit tetapi lebih banyak ditemukan di daerah dingin daripada di daerah panas. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya orang di daerah dingin jarang mandi dan mengganti baju dalam. Penyebaran cacing ini juga ditunjang oleh eratnya hubungan antara manusia satu dengan lainnya serta lingkungan yang sesuai.
Frekuensi di Indonesia tinggi, terutama pada anak dan lebih banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah. Frekuensi pada orang kulit putih lebih tinggi daripada orang negro.

Penyebaran cacing kremi lebih luas dari cacing lain. Penularan dapat terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama seperti asrama atau rumah piatu. Telur cacing dapat diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau kafetaria sekolah dan mungkin ini menjadi sumber infeksi bagi anak-anak sekolah. Di berbagai rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga yang mengandung cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, bufet, tempat duduk kakus (toilet seats), bak mandi, alas kasur, pakaian. Hasil penelitian menunjukkan angka prevalensi pada berbagai golongan manusia 3-80%. Penelitian di daerah Jakarta Timur melaporkan bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita entrobiasis adalah kelompok usia antara 5-9 tahun yaitu terdapat 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa.

H. Terapi Pengobatan

Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan enterobiasis saat ini adalah:

Obat pilihan I :

1. Mebendazol

Mebendazol merupakan suatu benzimidazol sintetik yang mempunyai aktivitas antelmintik spektum luas dan insiden efek samping yang rendah.

Farmakokinetik :

Mebendazol hamper tidak larut dalam air dan rasanya enak. Pada pemberian oral absorbs buruk yaitu kurang dari 10%. Bioavaibilitas sistemik rendah yang disebabkan oleh absorbs yang buruk dan mengalami metabolisme lintas pertama yang cepat. Waktu paruh 2-6 jam, dan dieksresikan utama melalui urin serta metabolit kunjugasi melalui empedu. Absorbsi meningkat bila diberikan bersamaan dengan makanan berlemak.

Kerja dan Efek Farmakologik :

Bekerja dengan menghambat sintesis mikrotubulus cacing, sehingga mengganggu ambilan glukosa yang irreversible yang mengakibatkan parasit mati secara berlahan dan juga menyebabkan kerusan struktur subseluler dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Hasil terapi yang memuaskan baru tampak sesudah 3 (tiga) hari pemberian obat. Selain itu, obat juga menyebabkan sterilisasi telur sehingga telur gagal berkembang menjadi larva, namun larva yang sudah matang tidak dapat dipengaruhi.

Dosis :

Bentuk sediaan tablet 100 mg dan sirop 20 mg/ml

Dewasa/anak-anak besar dari 2 tahun : 2 x 100 mg/hari selama 3 hari dan pengobatan dapat diulang dalam 2-3 minggu.

Efek Samping :

Mebendazol tidak menyebabkan efek toksik sistemik. Hal ini disebabkan karena absobsinya yang buruk sehingga aman diberikan pada pasien anemia maupun malnutrisi.

Efek samping yang kadang timbul adalah mual, muntah, diare, dan sakit perut ringan yang bersifat sementara.

Kontra Indikasi dan Perhatian :

Kehamilan trimester pertama, dan harus diberikan hati-hati pada anak berusia dibawah 1 tahun. Penggunaan bersamaan dengan karbamazepin dapat menurunkan kadar obat dalam plasma dan evektifitasnya, sedangkan penggunaan bersama simetidin meningkatkan kadar obat dalam plasma.

2. Pirantel Pamoat

Pirantel dipasarkan sebagai garam pamoat yang berbentuk Kristal putih, tidak larut dalam alcohol maupun air, tidak berasa dan bersifat stabil.

Farmakokinetik :

Absorbsinya sedikit melalui usus dan sifat ini memperkuat efeknya yang selektif pada cacing. Kadar puncak plasma 50-130 ng/mL dicapai dalam waktu 1-3 jam. Lebih dari setengah dosis yang diberikan dijumpai dalam tinja dalam bentuk utuh dan kira-kira 7% dieksresika melalui urin dalam bentuk utuh dan metabolitnya.

Efek Antelmintik :

Pirantel pamoat dan analognya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dalam keadaan spastic. Selain itu, pirantel pamoat juga berefek menghambat enzim kolinesterase.

Dosis :

Bentuk sediaan : Sirop berisi 50 mg pirantel pamoat basa/mL, tablet 125 dan 250 mg. Dosis tunggal dianjurkan 10 mg/kgBB dapat diberikan setiap saat tanpa dipengaruhi oleh makanan dan minuman.

Efek Samping :

Efek samping yang timbul pada 4-20% penderita bersifat jarang, ringan dan sementara. Gejala tersebut meliputi mual, muntah, diare, kram perut, pusing, mengantuk, sakit kepala, insomnia, kulit kemerahan, demam dan lemah.

Kontraindikasi dan Perhatian :

Tidak ada kontraindikasi, tetapi obat ini harus digunakan secara hati-hati pada penderita dengan gangguan hati karena dapat meningkatkan transaminase sementara pada beberapa pasien.

Obat Pilihan II :

1. Albendazol

Albendazol merupakan obat cacing derivate benzimidazol berspektum lebar yang dapat diberikan peroral.

Farmakokinetik :

Setelah pemberian oral, albendazol diabsobsi secara cepat dan dimetabolisme terutama menjadi albendazol sulfoksat dan metabolit lainnya. Kira-kira 3 jam setelah pemberian dosis oral 400 mg, sulfoksat mencapai konsentrasi plasma maksimal 250-300 ng/mL dengan waktu paruh plasma 8-9 jam. Metabolit dieksresikan terutama melalui urin dan hanya sejumlah kecil yang dieksresikan melalui tinja. Absorbsi obat kira-kira 4 kali lebih cepat bila digunakan bersamaan dengan makanan berlemak dibandingkan dengan keadaan lapar.

Farmakodinamik :

Bekerja dengan cara berikatan dengan beta tubulin parasit sehingga menghambat polimerisasi mikrotubular dan memblok pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing dewasa, sehingga persediaan glikogen menurun dan pembentuka ATP berkurang, sehingga cacing mati.

Dosis :

Dewasa/anak diatas 2 tahun : dosis tunggal 400 mg bersamaan dengan makanan.

Efek Samping :

Nyeri ulu hati, diare, sakit kepala, mual, lemah, pusing, insomnia. Namun bila digunakan dalam 3 hari, tidak menunjukan efek samping yang bermakna.

Kontra Indikasi dan Perhatiaan :

Keamanan penggunaan pada anak dibawah 2 tahun belum ditetapkan. Hal ini karena obat ini bersifat embriotoksik dan teratogenik pada beberapa species hewan. Tidak dibolehkan pada wanita hamil dan juga dikontraindikasikan pada penderita sirosis.

J. Pencegahan

Sangat penting untuk menjaga kebersihan pribadi, dengan menitikberatkan kepada mencuci tangan setelah buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan.
Pakaian dalam dan seprei penderita sebaiknya dicuci sesering mungkin.

Langkah-langkah umum yang dapat dilakukan untuk mengendalikan infeksi cacing kremi adalah:
1. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar.

2. Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku.

3. Mencuci seprei minimal 2 kali/minggu.

4. Mencuci jamban setiap hari.

5. Menghindari penggarukan daerah anus.

6. Menjauhkan tangan dan jari tangan dari hidung dan mulut.

DAFTAR PUSTAKA

Gandahusada S et al. 2001. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Gunawan, S. Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi, edisi V. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI

Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi VI. Jakarta : EGC.

http://www.bchealthguide.org

http://www.dentistrycentre.blogspot.com

http://www.indonesiindonesia.com

http://www.tanyadokter.com

http://www.whisperingpinesmedicalclinic.com

Jumat, 04 Juli 2008

Seledri berkhasiat untuk obat???

Apium graveolens L.
(Seledri)
Famili : Apiaceae


Sifat dan Khasiat
Akar seledri berkhasiat memacu enzim pencernaan dan peluruh kencing (diuretik), sedangkan buah atau bijinya sebagai pereda kejang (antispasmodik), menurunkan kadar asam urat darah, antirematik, peluruh kencing (diuretik), peluruh kentut (karminatif), afrodisiak, penenang (sedatif).
Herba berbau aromatik, rasanya manis, sedikit pedas, dan sifatnya sejuk. Herba berkhasiat tonik, memacu enzim pencernaan (stomakik), menurunkan tekanan darah (hipotensif), penghenti pendarahan (hemostasis), peluruh kencing (diuretik), peluruh haid, peluruh kentut (karminatif), mengeluarkan asam urat darah yanag tinggi, pembersih darah, dan memperbaiki fungsi hormon.

Kandungan Kimia
Herba seledrimengandung flavonid, saponin, tannin 1%, minyak asiri 0,033%, flavor-glukosida (apiin), apigenin, kolin, lipase, aspargine, zat pahit, vitamin (A, B dan C). Setiap 100 g herba seledri mengandung air sebanyak 93 ml, protein 0,9 g, lemak 0,1 g, karbohidrat 4 g, serat 0,9 g, kalsium 50 mg, besi 1 mg, fosfor 40 mg, yodium 150 mg, kalium 400 mg, magnesium 85 mg, vit. A 130 IU, vit. C 15 mg, riboflavin 0,05 mg, tiamin 0,03 mg, dan nikotinamid 0,4 mg.
Akar mengandung asparagi, manit, zat pati, lendir, minyak atsiri, pentosan, glutamin, dan tirosin.
Biji mengandung apiin, minyak menguap, apigenin, dan alkaloid. Apigenin berkhasiat hipotensif.


Indikasi
Herba berkhasiat untuk pengobatan :
• Tekanan darah tinggi
• Vertigo disertai sakit kepala
• Tungkai bengkak karena timbunan cairan
• Masuk angin, mual, kolik
• Diare
• Rematik, gout, asam urat darah tinggi
• Bronchitis, batuk
• Mata kering (xeroftalmia)
• Tidak nafsu makan
• Psoriasis
• Kencing berdarah (hematuria)
• Keluhan menopause, gangguan menstruasi,
• Penyubur rambut

Akar berkhasiat untuk pengobatan :
• Tekanan darah tinggi
• Kolestrol darah tinggi
• Air seni mengandung lemak
• Kolik

Biji berkhasiat untuk pengobatan :
• Rheumatism, rematik gout, dan asam urat darah tinggi
• Bronchitis, asma
• Penyakit pada hati dan limpa
• Kolik
• Sakit perut setelah melahirkan



Efek Farmakologis dan Hasil Penelitian
1. Infus daun seledri dengan kadar 10% sebanyak 5 ml/kg bb akan memberikan efek penurunan kadar asam urat darah kera secara nyata, jika dibandingkan dengan pemberian probenecid 20 mg/kg bb pada 3, 4, 5, dan 6 jam pemberian. Akan tetapi, akan berbeda nyata jika dibandingkan dengan probenecid pada 7,5 dan 9 jam pemerian (Fimelda Winata,FF WIDMAN, 1988)

2. Pemberian ekstrak seledri dengan cara peras maupun refluks menunjukkan penurunan tekanan darah kucing (Aaltje Dondokambey, JF FMIPA UNHAS, 1985)

3. Penelitian menggunakan seledri Apium graveolens L. menunjukkan hasil positif pada tikus putih. Kadar kolesterol darah hewan percobaan yang diberi rebusan daun seledri ternyata menurun.Di dalam daun seledri terkandung senyawa glukosida, apiin, dan apoil yang memberi aroma khas. Namun, senyawa apa yang berkhasiat menurunkan kadar kolesterol darah belum terungkap.( Idris, N. S., 1990. Penelitian Pendahuluan Pengaruh Pemberian Rebusan Daun Seledri (Apium greaveolens L) terhadap Kadar Kolesterol Darah Tikus Putih. Jurusan Biologi, Unas. Jakarta).

4. Tanaman seledri memiliki beragam khasiat sebagai tanaman obat, dan banyak diteliti berkenaan khasiat sebagai obat antihipertensi dan diuretik. Pada penelitian ini, telah diteliti pengaruh ekstrak etanol yang diperoleh dari ekstraksi sinambung seluruh tanaman seledri (Apium graveolens L., Apiaceae) terhadap efek diuresis dan toleransi glukosa pada tikus albino betina galur Wistar. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ekstrak etanol seledri dosis 2, 2,5 dan 3 g/kg bobot badan dapat meningkatkan kadar glukosa darah dan menurunkan toleransi terhadap glukosa. Dosis 2, 3, 4, 6 dan 8 g/kg bobot badan tidak menunjukkan efek diuresis berarti (Astriani, Mathilda B. Widianto, dan , Anna Setiadi Ranti, SF ITB,1992)

5. Uji klinis dilakukan terhadap 160 orang penderita tekanan darah tinggi yang dipilih secara acak dan dibagi menjadi dua kelompok. Kedua kelompok tersebut diberi Tensigard (obat ekstrak seledri dan kumis kucing) dan Amlodipin (obat impor hipertensi sejenis calcium antagonist yang sangat dikenal dan terbukti dapat mengendalikan hipertensi dengan baik). Hasilnya, setelah 12 minggu pemakaian obat-obat tersebut, dua kelompok itu sama-sama mengalami penurunan tekanan sistolik maupun distolik. Penelitian yang telah dimulai sejak dua tahun lalu itu diprakarsai oleh Dr.Bina Suhendra, Presiden Direktur PT Phapros, Tbk, Dr.Aulia Sani, Direktur Utama Pusat Jantung Nasional, Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, dan dipimpin oleh Dr. dr. Fadilah Supari dari pusat data dan penelitian Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.